Oleh
Sigit Risat
Alkisah, di sebuah kota ada seorang pria bernama Haidar yang menanam
pohon berduri di tengah jalan sehingga mengganggu kelancaran lalu lintas
warga. Sang Walikota datang menemui pria tersebut dan meminta agar ia
memotong pohon berduri tersebut. Permintaan sang Walikota tersebut tidak
digubrisnya. Sang Walikota marah dan memperingatkannya kembali agar ia
segera memotong pohon berduri itu agar tidak mengganggu warga yang akan
lewat.
Setiap kali diingatkan, Haidar selalu mengatakan bahwa ia akan memotong
pohon berduri tersebut esok hari. Bulan berlalu dan tahun demi tahun
berganti pohon-pohon berduri tersebut tidak dipotong dan malah tumbuh
dan berkembang biak. Hingga Haidar sudah tua, pohon itu belum dipotong
juga. Seiring dengan waktu, pohon berduri itu bertambah besar dan
beranak pinak. Ia menutupi semua bagian jalan. Duri itu tidak saja
melukai orang yang melalui jalan tersebut, tapi juga melukai pemiliknya.
Kini Haidar sudah sangat tua, tangannya mengecil, ototnya sudah
mengendur dan matanya sudah mulai kabur. Ia kini sudah tidak lagi sekuat
dulu. Ia menjadi amat lemah sehingga tidak mampu lagi membawa kapak,
apalagi untuk memotong pohon-pohon berduri yang ia tanam sendiri.
Kisah haidar dan pohon berduri di atas dikisahkan oleh Jalaluddin Rumi
untuk menggambarkan betapa berbahayanya penyakit hati itu. Beliau pun
memberikan nasihatnya, "Dalam hidup ini, kalian sudah banyak sekali
menanam pohon berduri dalam hati kalian. Duri-duri itu bukan saja
menusuk orang lain tapi juga dirimu sendiri. Ambillah kapak Haidar,
potonglah seluruh duri itu sekarang sebelum kalian kehilangan tenaga
sama sekali."
Pohon berduri juga bisa diartikan sebagai karakter buruk manusia yang
jika dibiarkan ia akan tumbuh subur dan semakin kuat. Dalam kondisi
tertentu sesorang sudah tidak punya kekuatan lagi untuk “menebang” pohon
karakter buruk itu karena sudah mengakar dan terprogram kuat di benak
bawah sadarnya. Bahkan yang lebih berbahaya lagi adalah ketika yang
bersangkutan tidak merasa memiliki pohon karakter buruk. Dia merasa
baik-baik saja walau pun sudah banyak orang yang terluka hatinya dan
menderita oleh perbuatannya.
Para pakar pengembangan diri sepakat bahwa karyawan yang memiliki
karakter baik memliki peluang yang lebih besar untuk sukses dalam
kariernya dibandingkan dengan karyawan yang berkarakter buruk. Bahkan
sebuah survey kepemimpinan
menemukan bahwa, para pemimpin lebih memilih karyawan yang tidak pintar
tetapi berkarakter baik daripada yang pintar tetapi karakternya buruk.
Ini sekali lagi membuktikan bahwa karakter berbanding lurus dengan
kesuksesan seseorang.
Persoalannya adalah, walau pun kita menyadari bahwa karakter buruk itu
harus segera “ditebang” namun pada kenyataannya itu tidak mudah.
Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk menghilankannya. Belum lagi
jika kebiasaan-kebiasaan buruk atau karakter itu sudah semakin kuat,
maka semakin susahlah kita merobohkannya. Namun kabar baiknya, siapa
yang memiliki niat baik, maka semesta akan membantu mewujudkannya.
Tebanglah pohon berduri itu sekarang juga. niatkan itu bukan semata
karena kita ingin sukses dalam karier saja, malainkan juga karena kita
ingin menjadi hamba Tuhan yang baik, yang bisa membahagiakan orang-orang
yang hadir dalam kehidupan kita.
Jagalah pikiranmu, karena pikiranmu akan menjadi ucapanmu
Jagalah ucapanmu, karena ucapanmu akan menjadi perbuatanmu
Jagalah perbuatanmu, karena perbuatanmu akan menjadi sifatmu
Jagalah sifatmu, karena sifatmu akan menjadi karaktermu
Jagalah karaktermu, karena karaktermu akan menjadi nasibmu
Jagalah ucapanmu, karena ucapanmu akan menjadi perbuatanmu
Jagalah perbuatanmu, karena perbuatanmu akan menjadi sifatmu
Jagalah sifatmu, karena sifatmu akan menjadi karaktermu
Jagalah karaktermu, karena karaktermu akan menjadi nasibmu