Saturday, April 5, 2014

Takdir Sejarah Oleh Sigit Risat

Oleh Sigit Risat
Takdir Sejarah yang tak terbantahkan
Prabu Jayadewata menegang. Kegundahan menyergapnya. Memuncak. Sesekali diliriknya Prabu Anom Walangsungsang, darah daginya sendiri, calon putra mahkota yang telah dipersiapkan sejak jabang bayi. Sama sekali tak pernah dibayangkan sebelumnya jika calon pewaris tahta Kerajaan Pajajaran ini begitu kukuh pendiriannya sekalipun usianya masih muda. Andai saja pendirian yang kukuh itu sejalan dengan pikirannya, lelaki gagah perkasa bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata Mahaprabu Sri Baduga tentu akan senang. Sangat senang. Bangga. Bangga sekali. Keteguhan dan ketegasan yang selama ini mengalir di merah darahnya juga telah terlihat nyata mengalir pada putarnya itu. Tapi ini lain. Sesuatu yang sama sekali tak pernah terlintas di benaknya.
Prabu Anom Walngsungsang adalah buah perkawinannya dengan Ratu Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa. Ketika memutuskan menikah dengan Ratu Subanglarang, Sri Maharaja Prabu Siliwangi – penganut ajaran Jati Sunda – sadar betul bahwa putri Ki Gedeng Tapa itu seorang santri, muslimah yang baik. Perbedaan keyakinan itu sama sekali tidak membuatnya khawatir. Tapi kini, ketika Walangsungsang, putra mahkota yang telah ia persiapkan untuk memegang tampuk kekuasaan tersebut, menggugat masalah itu, kekhawatiran menyeretnya pada dinding kokoh. Betapa tidak. Jika Walangsungsang diiizinkan untuk memiliki keyakinan yang berbeda, bagaimana dengan masyarakat Pajajaran kelak.
Prabu Siliwangi berbalik. Menatap tajam pada Walangsungsang. Dengan satu gerakan halus tapi sangat cepat dan terukur, kujang itu telah menempel di leher putra mahkotanya.
"Jika pohon yang meranggas itu adalah kerajaan kita dan yang sedang berteduh di bawahnya adalah ayahmu, Walangsungsang, apa kau juga tetap akan menumbangkan pohon itu?" Bentak Prabu Siliwangi, dadanya turun naik tak biasanya. Kemarahan sedang membakar hatinya. Walangsungsang bergeming. Kelak, ia pun tak punya pilihan lain selain harus berhadapan dengan ayahandanya sendiri, sekalipun tidak dimaksudkan untuk saling menghinakan.
Itulah sepenggal kisah Prabu Siliwangi yang berseteru dengan putranya Walangsungsang yang kelak mengubah sejarah peradaban di tanah sunda. Kisah ini tertuang dalam novel sejarah yang berjudul Prabu Siliwangi, Bara di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya yang ditulis oleh E Rokajat Asura. Tentu saja saya mencuplik kisah ini bukan untuk memberi pelajaran sejarah pada Anda, melainkan sebagai ilustrasi tentang kondisi nyata yang seringkali tak terhindarkan dalam sebuah organisasi, termasuk dalam dunia kerja. Yaitu fakta bahwa tidak selamanya seorang pemimpin memiliki pandangan yang sama dengan orang kepercayaannya. Bisa jadi orang yang sudah mengabdi lama, yang sudah dibina dari yang semula bukan siapa-siapa menjadi pemimpin yang menduduki posisi puncak pada akhirnya berdiri bersebrangan menjadi kompetitor.
Dalam dunia kerja, perpecahan seperti ini memang tidak serumit di sebuah kerajaan, namun tetap saja peristiwa ini bisa membuat hubungan diantara kedua belah pihak menjadi renggang bahkan tidak sedikit yang berujung di meja hijau. Lalu apa yang harus dilakukan saat berhadapan dengan situasi seperti ini? Terlepas dari siapa yang salah dan siapa yang benar, hadapilah dengan bijak dan lakukan tindakan sesuai skala prioritas. Apakah tetap mempersoalkan perbedaan pandangan itu habis-habisan? Atau fokus pada masa depan? Termasuk masa depan perusahaandan merelakan peristiwa itu terjadi. Semua yang sudah terjadi memang harus terjadi.
Dalam pandangan spiritual, semua yang sudah terjadi berarti sudah diizinkan Tuhan itu terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah mengikhlaskan kejadian itu dan meyakini bahwa pasti ada hikmah dan pelajaran di balik semuanya. Demikian juga dengan perpecahan yang berawal dari perbedaan keyakinan antara ayah dan anak di kerajaan Prabu Siliwangi. Sejarah membuktikan, dengan perpecahan itu terbangunlah kota cirebon, bogor, jakarta dan kota-kota lainnya di Jawa Barat. Termasuk penyebaran agama Islam yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati. Itu semua adalah takdir sejarah yang tak terbantahkan.


Previous Post
Next Post

About Author

Comments
0 Comments

0 komentar:

terimakasih atas komentar nya